Prabowo Dikritik Soal Amnesti & Abolisi: Ada Kejanggalan Besar!

redaksi

Prabowo Subianto

Pesankata.com, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menuai kritik tajam usai menerbitkan amnesti dan abolisi bagi sejumlah tokoh terpidana—termasuk Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong—pada pekan lalu, menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Meski legal menurut DPR, kebijakan ini dianggap kontroversial dan menciptakan banyak pertanyaan publik.

Amnesti adalah pengampunan kolektif yang menghapus hukuman dan catatan pidana secara permanen, sedangkan abolisi membatalkan proses hukum yang sedang berjalan. Prabowo memberikan amnesti secara kolektif kepada sekitar 1.178 napi, dan membatalkan kasus terhadap Tom Lembong melalui abolisi. Kedua tindakan ini dilakukan setelah DPR menyetujui usulan presiden.

Namun, banyak pihak mempertanyakan kriteria pemberian kebijakan tersebut. Kritik mengarah pada kemungkinan penyaluran amnesti dan abolisi yang dipengaruhi oleh pertimbangan politik, bukan semata soal rekonsiliasi. Observers menyoroti lemahnya transparansi mengenai dasar pemilihan nama-nama penerima.

Fahri Hamzah dari Partai Gelora bahkan menyebut langkah ini sebagai “hadiah politik”, menyatakan bahwa keputusan politik berada di balik pembebasan tokoh seperti Hasto dan Lembong. kritik ini juga dipicu karena keduanya pernah menjadi bagian dari kubu politik rival terhadap rezim sebelumnya.

Wakil Menteri Sekretaris Negara, Juri Ardiantoro, membela langkah pemerintah sebagai bagian dari komitmen menjaga persatuan nasional. Ia menekankan bahwa amnesti dan abolisi dijalankan berdasarkan hasil konsultasi dengan DPR dan dalam semangat rekonsiliasi bangsa.

Sementara itu, analis hukum seperti Azmi Syahputra (Univ. Trisakti) dan Mohamad Rosyidin (Univ. Diponegoro) menyoroti bahwa kebijakan ini berisiko merusak kredibilitas sistem peradilan. Mereka mendesak agar pemerintah memberikan justifikasi publik yang jelas dan membuka kriteria pemilihan penerima klame amnesti atau abolisi ini.

Sebagian masyarakat menyambut positif sebagai langkah rekonsiliasi nasional, namun sebagian lagi skeptis melihatnya sebagai politik impunitas dan intervensi kekuasaan eksekutif terhadap yudikatif. Banyak yang meminta agar pemerintah meninjau ulang kebijakan serupa di masa depan.

Terlepas dari kontroversi itu, langkah Prabowo membuka babak baru bagi dinamika politik Indonesia. Publik menunggu apakah DPR dan pemerintah akan merespons kritik dengan transparansi penuh, atau justru menyembunyikan detail di balik kekuasaan prerogatif presiden.

Baca juga

Bagikan:

Tags