Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke tiga situs nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Esfahan—pada 22 Juni 2025 . Serangan ini memicu reaksi internasional beragam yang menunjukkan potensi eskalasi skala global.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres langsung menyatakan kekhawatiran atas serangan tersebut dan menyerukan de-eskalasi melalui jalur diplomasi, sebab ancaman terhadap stabilitas global semakin nyata . Uni Eropa mengikuti, dengan pernyataan dari Inggris, Prancis, dan Jerman yang menegaskan pentingnya kembali ke proses negosiasi nuklir sambil menyoroti risiko tindakan militer.
Di sisi lain, China dan Rusia mengutuk keras aksi militer AS, menyebutnya pelanggaran terhadap hukum internasional dan memicu ketegangan regional yang serius . Kelompok militan pro-Iran seperti Hamas dan Houthi juga mengecam AS, menyebutnya sebagai bentuk agresi yang tidak bisa dibenarkan .
Israel justru memberikan apresiasi terbuka terhadap tindakan AS, menyebut serangan itu sebagai langkah berani untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir . Namun, Iran merespons dengan ancaman penutupan Selat Hormuz dan pernyataan bahwa akan ada “konsekuensi kekal” .
Para analis internasional memperingatkan risiko konflik bisa berubah menjadi perang global, bukan lagi sekadar perang proksi, dengan benua Asia dan Timur Tengah sebagai titik panas utama . Spekulasi juga muncul terkait kemungkinan Iran menggunakan rudal balistik maupun satelit untuk melancarkan serangan balasan.
Dampak terhadap ekonomi global turut dikhawatirkan terutama melalui gangguan terhadap pasokan minyak dan potensi lonjakan harga crude oil jika Selat Hormuz benar-benar ditutup . Bank dan institusi keuangan dunia mulai mempersiapkan skenario mitigasi tekanan pasar yang mungkin timbul dalam beberapa pekan mendatang.
Tuntutan untuk negosiasi kembali digelorakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara Eropa, sedangkan negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab menyerukan pengekangan diri untuk menjaga perdamaian kawasan . Indonesia juga didorong memperkuat diplomasi global guna menghindari eskalasi konflik serius.
Kedepannya, pemantauan intensif akan dilakukan di jalur perairan strategis dan bandara utama, sementara delegasi diplomatik negara-negara besar diperkirakan akan memfokuskan negosiasi damai. Perkembangan ini diperkirakan akan menjadi topik utama dalam Sidang Dewan Keamanan PBB mendatang.