Kisruh Tanah Wakaf Eks Dosen UIN Malang Kian Memanas

redaksi

Imam Muslimin atau Yai Mim, eks dosen UIN Malang.

Distriknews.co, Jakarta – Persoalan tanah di kawasan Joyogrand Kavling Depag III Atas, Lowokwaru, Kota Malang kembali menyedot perhatian publik. Sengketa antara Imam Muslimin atau Yai Mim, eks dosen UIN Malang, dengan tetangganya Sahara, kini berkembang menjadi polemik yang melibatkan aparat kelurahan, kecamatan, hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Camat Lowokwaru Rudi Cahyo menegaskan klaim Yai Mim soal tanah wakaf tidak benar. Menurutnya, jalan yang dipersoalkan sudah ada jauh sebelum Imam Muslimin tinggal di wilayah tersebut. Ia menyebut informasi yang beredar di media sosial tidak sesuai fakta sejarah. “Tidak ada tanah wakaf di situ. Jalan itu memang sejak lama digunakan warga,” ujar Rudi, Selasa (30/9/2025).

Namun, Rudi mengakui tidak memiliki bukti hukum yang bisa menguatkan pernyataannya. Ia hanya merujuk pada keterangan warga. Lebih jauh, ia menyebut BPN menemukan indikasi patok tanah yang dipindahkan. “BPN bilang memang ada patok yang digeser. Itu menurut mereka dilakukan oleh pihak Yai Mim,” katanya.

Di sisi lain, keluarga Imam Muslimin mengungkap fakta berbeda. Rosida Vignesvari, istrinya, menyatakan tanah depan rumah mereka dibeli pada 2007. Saat itu pengembang meminta agar tanah tersebut disedekahkan untuk akses jalan, karena jalan utama terlalu sempit. Menurutnya, persoalan bermula ketika Sahara kemudian memagari lahan itu untuk dijadikan kandang kambing dan parkir mobil sewaan.

Sahara membantah keras klaim keluarga Imam Muslimin. Ia menegaskan Yai Mim baru tinggal di kawasan itu pada 2025 sehingga tidak mungkin mewakafkan tanah yang bukan miliknya. “Kami ada bukti sah bahwa tanah tersebut punya pemilik lama. Jadi bukan wakaf dari Yai Mim,” ucap Sahara.

Tim kuasa hukum Imam Muslimin yang dipimpin Agustian Siagian menilai masalah ini tidak boleh ditarik ke isu SARA. Mereka menekankan konflik ini murni sengketa pribadi dan harus diselesaikan secara hukum. “Benar atau salah akan ditentukan pengadilan, bukan opini masyarakat,” jelas Agustian. Ia juga menyoroti adanya surat kesepakatan warga RT.09/RW.09 yang disebut-sebut menyetujui pengusiran Imam Muslimin.

Agustian mempertanyakan keabsahan surat tersebut, apakah benar mencerminkan persetujuan warga atau hanya daftar hadir. Menurutnya, tindakan pengusiran yang dialami kliennya tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Ia menambahkan, undangan mediasi di Kantor Kelurahan Merjosari pada 29 September 2025 dikirim mendadak sehingga pihaknya tidak bisa hadir.

Meski demikian, tim kuasa hukum tetap menghormati proses mediasi dengan catatan harus transparan dan tidak memihak. Mereka mengajak masyarakat menjaga kerukunan serta mendukung jalannya hukum agar persoalan dapat selesai secara adil. “Kami tidak ingin masalah ini memecah belah warga. Mari bersama-sama kawal proses hukum yang benar,” tutup Agustian.

Baca juga

Bagikan:

Tags