Distriknews.co, Jakarta – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memicu perdebatan saat mengusulkan penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Ia menyarankan sistem upah sektoral nasional sebagai gantinya.
Ia menilai sistem UMK menciptakan masalah nyata. Perbedaan upah antar daerah dalam satu kawasan industri kerap besar, seperti antara Purwakarta dan Karawang atau antara Sumedang dan Bandung, dengan selisih mencapai Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Perbedaan itu tidak mencerminkan produktivitas atau biaya hidup riil, melainkan hasil negosiasi politik lokal.
Menurut Dedi, disparitas itu jadi penyebab pabrik memindah lokasi hanya karena mempertimbangkan biaya upah yang lebih rendah. Hal ini ia nilai membawa ketidakproduktifan. “Purwakarta lari ke Karawang, Karawang lari ke Indramayu, nanti ke Jawa Tengah. Ini harus dihentikan,” ujarnya.
Sebagai solusi, Dedi menawarkan sistem upah sektoral nasional. Upah ditetapkan menurut jenis industri—pertambangan, energi, makanan dan minuman, serta manufaktur—dan berlaku merata di seluruh wilayah Indonesia. Ia menyebut sistem itu akan mendorong keadilan, stabilitas, serta kepastian bagi pekerja dan investor.
Ia juga menyoroti politisasi UMK saat penetapan. Dedi mengatakan penetapan upah sering dimanfaatkan kepala daerah demi popularitas menjelang pemilu atau pilkada. Dengan sistem sektoral terpusat, ruang politisasi bisa ditekan.
Wacana ini sudah disampaikan kepada Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan saat rapat konsultasi nasional di Bandung. Namun hingga kini, pemerintah pusat belum memberikan tanggapan resmi terhadap usulan tersebut.
Jika konsep ini disetujui dan diterapkan, sistem ketenagakerjaan bisa berubah total. Perlu kajian mendalam untuk mengevaluasi dampak sektor industri, perbedaan biaya hidup, dan kesiapan pelaku usaha. Sistem baru ini berpotensi menggantikan kebiasaan lama UMK berbasis wilayah.