Kutai Kartanegara – Pencalonan petahana, Edi Damansyah sebagai Bupati Kutai Kartanegara pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 telah memicu perdebatan sengit di kalangan aktivis dan pemerhati hukum.
Beberapa kelompok, terutama Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), menyoroti masalah hukum yang timbul dari pencalonan Edi, yang pernah menjabat sebagai Plt Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara dari April 2018 – Februari 2019 sebelum diangkat menjadi bupati definitif.
Edi Damansyah bukanlah sosok baru yang hadir di panggung politik Kabupaten Kutai Kartanegara. Ketika Bupati Rita Widyasari ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus gratifikasi, Edi diangkat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati.
Politikus PDI Perjuangan itu kemudian dilantik sebagai bupati definitif pada tahun 2019 dan menjabat hingga masa akhir jabatannya pada 2021. Kini, saat Edi mencoba maju lagi di Pilkada 2024, persoalan hukum tentang masa jabatannya mencuat ke permukaan.
MAKI, sebagai salah satu pihak yang paling vokal mengkritik pencalonan ini, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XXI/2023 yang dikeluarkan pada 28 Februari 2023.
Putusan ini mengatur bahwa masa jabatan kepala daerah, baik yang diemban secara definitif maupun sebagai pelaksana tugas (Plt), jika sudah dijalani setengah atau lebih, dianggap sebagai satu periode penuh.
Dalam konteks ini, MAKI berpendapat bahwa pencalonan Edi Damansyah di Pilkada 2024 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut mereka, masa jabatan yang pernah dijalaninya sebagai Plt Bupati harus dihitung sebagai satu periode.
Maka ini berarti, ia sudah tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri lagi.
Namun, tim hukum Edi Damansyah-Rendi Solihin tidak sepakat dengan pandangan itu. Erwinsyah, kuasa hukum pasangan petahana, menegaskan, terdapat kekeliruan dalam memahami peran dan masa jabatan Plt.
Seharusnya lanjut dia, seorang Plt tidak dapat disamakan dengan bupati definitif, sehingga masa jabatannya tidak dapat dihitung sebagai satu periode penuh.
“Kami melihat ada kesalahpahaman mengenai status Plt. Plt hanya bertugas sementara dan tidak menjalani pelantikan sebagai bupati definitif. Oleh karena itu, masa jabatan sebagai Plt tidak bisa dianggap sebagai satu periode penuh seperti yang dimaksud dalam Putusan MK tersebut,” jelas Erwinsyah.
Dalam surat Dirjen OTDA Kemendagri RI Nomor 100.2.1.3/3530/OTDA, pada poin 4 dijelaskan jika Plt kepala daerah tak melalui proses pelantikan resmi. Masa jabatannya hanya berlaku sesuai penunjukan dalam keputusan yang ditandatangani.
Yang mana artinya, bukan berdasarkan masa jabatan penuh seperti bupati definitif. Ini menjadi dasar argumen tim hukum Edi Damansyah untuk membela kliennya.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti terbitnya Surat Edaran Bawaslu Nomor 96 Tahun 2024 yang menjadi pedoman bagi pengawas pemilu. Surat edaran tersebut menyatakan bahwa kedudukan pelaksana tugas kepala daerah tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 19 huruf c PKPU Pencalonan, yang mengatur masa jabatan kepala daerah.
Ini berarti, waktu yang dijalani Edi sebagai Plt tidak dapat dihitung sebagai satu periode, sehingga ia tetap layak untuk maju dalam Pilkada 2024.
“Surat Edaran Bawaslu ini memperjelas bahwa Plt tidak dihitung dalam aturan masa jabatan kepala daerah. Ini menjadi pegangan hukum bagi kami dan memperkuat posisi Edi untuk mencalonkan diri kembali,” tegasnya.
Meskipun demikian, persoalan ini masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum dan aktivis. Mereka menilai bahwa ada celah dalam aturan yang memungkinkan tafsir yang berbeda.
Bagaimana status hukum pencalonan Edi Damansyah akan diputuskan dalam Pilkada Kutai Kartanegara 2024, masih menjadi tanda tanya besar.
Kasus ini tidak hanya akan mempengaruhi nasib Edi, tetapi juga akan menjadi preseden penting bagi pencalonan kepala daerah di Indonesia ke depannya.