Distriknews.co, Jakarta – Total dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan hingga September 2025 mencapai Rp234 triliun. Angka ini menunjukkan rendahnya realisasi belanja daerah meski dana transfer dari pemerintah pusat telah disalurkan penuh. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menilai kondisi ini sebagai cerminan lemahnya eksekusi di tingkat daerah. “Uangnya ada, tapi eksekusinya lambat. Jangan tunggu akhir tahun untuk membelanjakan anggaran,” tegasnya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta, Kamis (23/10).
Tiga pemda dengan dana simpanan terbesar berada di tingkat provinsi dan satu kota. DKI Jakarta mencatat Rp14,68 triliun, diikuti Jawa Timur sebesar Rp6,84 triliun. Data Bank Indonesia (BI) menempatkan Kota Banjarbaru di posisi ketiga dengan Rp5,17 triliun. Namun, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membantah data tersebut. Setelah pengecekan, simpanan kas daerah Banjarbaru hanya sekitar Rp787,91 miliar.
Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengakui dana yang tersimpan di bank sudah memiliki peruntukan. Ia menyebut dana itu akan digunakan pada November dan Desember 2025 untuk membayar berbagai kegiatan. “Kami tidak menahan dana. Semua sudah dialokasikan dan tinggal pelaksanaan,” ujarnya. Ia juga menyatakan mendukung imbauan pusat untuk mempercepat realisasi anggaran menjelang akhir tahun.
Purbaya menegaskan data yang dirilis BI sudah diverifikasi dan harus menjadi acuan resmi. Ia menanggapi protes dari sejumlah kepala daerah, termasuk Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang mempertanyakan validitas data. “Itu data dari BI, dan sudah dicek. Kepala daerah harus memeriksa kembali pencatatan kas mereka,” kata Purbaya.
Bank Indonesia memastikan data yang disampaikan bersumber dari laporan bank-bank yang terintegrasi dengan sistem bank sentral. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyebut proses verifikasi dilakukan setiap bulan untuk memastikan akurasi. “Setiap laporan bank ke BI sudah melalui proses validasi internal. Jadi datanya bisa dipertanggungjawabkan,” jelasnya.
Sementara itu, Mendagri Tito Karnavian mengungkap adanya selisih sekitar Rp18 triliun antara data BI dan hasil pengecekan Kemendagri. Tito menilai perbedaan ini disebabkan oleh pencatatan yang tidak seragam di daerah. Ia mencontohkan kasus Banjarbaru yang datanya berbeda jauh antara versi BI dan hasil validasi kas daerah.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menambahkan, pihaknya tengah menelusuri penyebab rendahnya penyerapan anggaran. Ia menduga proses administrasi dan tender proyek di daerah masih lambat. “Masalahnya bukan di uang, tapi di sistem pelaksanaan yang belum efisien,” ujarnya.
Kementerian Keuangan dan Kemendagri berkomitmen memperbaiki koordinasi agar serapan anggaran lebih optimal. Pemerintah pusat juga mendorong daerah untuk fokus pada belanja produktif yang berdampak langsung pada masyarakat. “Dana sebesar itu seharusnya sudah berputar di lapangan. Setiap rupiah yang diam di bank adalah peluang ekonomi yang hilang,” tutup Purbaya.



